Waspadai Leptospirosis, Hindari Gunakan Air Tampungan


Semarang, MBGtoday.com, Musim hujan, masyarakat diminta terus berhati-hati terhadap ancaman penyakit leptospirosis. 

Waspadai genangan air dan banjir, yang dapat menjadi media masuknya bakteri leptospira interrogans, yang terbawa urine hewan terinfeksi, terutama tikus.

Hal itu ditekankan narasumber dari Direktorat Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, dr Nani, saat webinar “Implementasi Konsep One Health dalam Mencegah dan Mengendalikan Leptospirosis di Jawa Tengah”, yang digelar melalui Zoom Meeting, Kamis (13/11).

Agar terhindar dari leptospirosis yang bisa mengakibatkan kematian, dia mengimbau masyarakat agar terus menjaga kebersihan dan sanitasi lingkungan, mengendalikan populasi tikus, serta mewaspadai genangan air dan banjir.

Masyarakat juga diingatkan untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, seperti menggunakan sarung tangan dan alas kaki, serta mencuci tangan dan kaki setelah beraktivitas di area banjir.

“Kita harus rajin mencuci tangan dan kaki, agar bakteri Leptospira tidak sempat masuk ke tubuh. Gunakan air mengalir dan sabun, jangan menggunakan air tampungan,” pesan Nani.

Dia memaparkan, penanggulangan leptospirosis dengan pendekatan One Health dapat dilakukan melalui empat aspek, yaitu pencegahan, surveilans, penanganan kasus, dan promosi kesehatan. Karenanya, Nani menekankan pentingnya promosi kesehatan, terutama pada musim hujan saat ini.

Pelaksana Tugas (Plt) Subkoordinator Penanggulangan Penyakit Menular (P2M) Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Tengah, Zanuar Abidin, menyampaikan, leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan bakteri leptospira interrogans. Penyakit itu menular dari hewan ke manusia, melalui kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi urine hewan terinfeksi, terutama tikus.

Dia mengungkapkan, kasus leptospirosis di Jawa Tengah masih menjadi perhatian serius, karena angka kejadian dan fatalitasnya yang fluktuatif.

Berdasarkan data, hingga September 2025, tercatat sebanyak 685 kasus leptospirosis di Jateng dengan 108 kematian. Angka itu menunjukkan case fatality rate (CFR) sebesar 16,41 persen.

Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan pada 2024, yang mencatat 545 kasus dengan 66 kematian, sementara CFR atau tingkat risiko kematian 12,11 persen.

Zanuar mendorong penguatan penerapan One Health di musim hujan ini, yang menekankan upaya kolaborasi antara sektor kesehatan manusia, kesehatan hewan, dan lingkungan. Pasalnya, risiko penyakit leptospirosis meningkat saat terjadinya banjir maupun genangan air.

Menurut dia, pendekatan itu sangat relevan dalam pencegahan serta pengendalian leptospirosis di Jateng. Terutama, dalam deteksi dini, upaya promotif, serta respon cepat antarbidang yang menangani kesehatan manusia, kesehatan hewan, dan lingkungan.

Zanuar meyakini, dengan kolaborasi dan koordinasi yang baik, rencana aksi, implementasi, dan strategi, penanganan penyakit tersebut menjadi lebih mudah.

“Harapannya pengendaliannya lebih sukses apabila sektor one health ini bisa terlibat, mulai dari perencanaan, pelaksanaan program, monitoring, dan evaluasi,” bebernya.

Peneliti Ahli Madya dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ristiyanto, menjelaskan, saat musim hujan dan banjir, risiko penularan leptospirosis meningkat, akibat urine tikus yang mencemari air atau lumpur banjir.

Menurutnya, banjir mengubah ekologi dan perilaku tikus secara drastis. Dalam kondisi ini, populasi tikus cenderung berpindah ke area permukiman untuk mencari tempat kering dan sumber makanan, sehingga kontak dengan manusia lebih sering terjadi.

Oleh karena itu, dia menilai, pendekatan one health yang mengedepankan kolaborasi lintas sektor secara terpadu, menjadi strategi yang harus digalakkan untuk mencegah dan menangani penyakit leptospirosis.

“Penanganan tikus, menjaga kebersihan lingkungan, serta melindungi kesehatan masyarakat di daerah terdampak banjir, harus dilakukan secara terpadu dan cepat untuk mencegah wabah leptospirosis,” tegas Ristiyanto.